orang minang yang terkemuka
Orang Minang Terkemuka di Pentas Sejarah

Chairul
Saleh
Mengawali
tahun pertama Milenium III, Majalah Tempo memulai tradisi penerbitan edisi
khusus “100 Tahun” tokoh-tokoh terkemuka Republik Indonesia. Sejak yang
pertama, “100 Tahun Soekarno” pada tahun 2001, hingga yang terakhir edisi
khusus “100 Tahun Sjahrir” semuanya sudah enam tokoh paling terkemuka Indonesia
yang dikupas tuntas biogrfinya. Mereka adalah Soekarno, Hatta, Aidit, Tan
Malaka, Natsir, dan Sjahrir. Kalau kita cermatinya, empat dari tujuh tokoh “100
Tahun” itu ternyata adalah orang Minang. Sejarah telah
mencatat bahwa Minangkabau adalah salah satu suku bangsa yang mempunyai peranan
menonjol di pentas sejarah nasional Indonesia, bahkan di Asia Tenggara.
Kontribusi mereka paling tidak dapat dilihat dari dua hal; pertama sumbangannya
yang besar dalam khasanah pemikiran dan intelektualitas Indonesia; dan kedua,
kontribusi dan peranan yang menonjol dalam melahirkan para pemimpin dan elite
bangsa. Orang Minang punya jejak sejarah yang mendalam mulai dari pengislaman
raja-raja dan rakyat Sulawesi Selatan oleh Datuk Ri Bandang dkk. (awal Abad
ke-17); masa pergerakan hingga proklamasi kemerdekaan, zaman Orde Lama, Orde
Baru, sampai era Reformasi kini.
Menurut Harry Poeze, sejarawan Belanda penulis Biografi Tan Malaka, ada
tujuh Begawan Revolusi Indonesia. Tiga di antara mereka adalah orang Minang:
Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka –empat lainnya Soekarno, Sudirman, Amir
Sjarifuddin, dan A.H. Nasution. Bahkan, dua di antara Triumvirat di puncak
piramid The Founding Fathers (Bapak Bangsa) Indonesia –Soekarno, Hatta,
Sjahrir— dua adalah orang Minang.Bila dikembang ke wilayah yang lebih luas
lagi, sejarah juga mencatat bahwa Kerajaan Negeri Sembilan di Malaysia
didirikan oleh orang Minang dengan mendatangkan Raja Malewar ke negeri
semenanjung itu. Keturunan raja-raja dari Minangkabau itulah yang kemudian
dicatat oleh sejarah yang terus memimpin negeri itu hingga hari ini. Salah
satunya Tuanku Abdul Rahman, Yang Dipertuan Agong Malaysia yang pertama,
wajahnya dibadikan di setiap lembaran uang kertas ringgit Malaysia.Juga kalau
kita kita perhatikan, semua pecahan uang kertas dolar Singapura dihiasi oleh
gambar wajah yang sama. Di situ tertulis pula nama pemilik wajah: Yusof bin
Ishak. Dialah Presiden Republik Singapura yang pertama, seorang keturunan
Minangkabau pula. Melengkapi nama Yusof, tercatat pula dalam sejarah Republik
Singapura nama Zubir Said. Dia, pencipta lagu kebangsaan Singapura “Majulah
Singapura” dan penggubah lebih 1.000 buah lagu, adalah putra Minangkabau tulen
yang dilahirkan di Bukittinggi.
Bidang kesusastraan
adalah salah satu lapangan kehidupan di mana peranan putra-putra Minang juga
sangat menonjol. Dari angkatan Pujangga Baru, ada nama-nama seperti Marah
Roesli, Nur Sutan Iskandar, Hamka, Aman Dt. Madjoindo. Demikian pula pada
sastrawan Angkatan 45, terdapat nama-nama yang abadi dalam sejarah seperti
Chairil Anwar, Idrus, Asrul Sani, Rivai Apin dan lain-lain. Bahkan, di bidang
per-filman, Usmar Ismail yang dijuluki sebagai Bapak Perfilman Nasional
Indonesia, adalah putra Minang juga.
Kalau
ditarik kesempulnanya, orang Minang senantiasa hadir dalam berbagai bidang dan
pada semua tahapan sejarah bangsa ini: bermula sejak Abad ke-17, masa sebelum
Kebangkitan Nasional; masa Kebangkitan Nasional; selama periode perjuangan dan
pergerakan Kemerdekaan; Proklamasi Kemerdekaan, Perang Kemerdekaan; hingga masa
mengisi kemerdekaan –Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi dewasa ini.
Hanya pada dekade setelah Pergolakan Daerah 1958, peranan orang Minang di
pentas elite nasional mengalami sedikit kemunduran. Tapi setelah itu dengan
cepat mereka pun menemukan peranannya kembali di atas panggung sejarah bangsa
ini.
Orang Minang
yang Selalu Ada
Ada masanya
orang Minang merasa mencapai puncak kejayaan mereka karena mampu memberikan
kontribusi yang besar dalam proses perjalanan dan perkembangan bangsa ini.
Perasaan itu terutama muncul pada awal hingga pertengahan abad ke-20, periode
pergerakan hingga dekade pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan. Ketika itu,
peranan tokoh dan pemimpin pergerakan yang berasal dari tanah Minangkabau
memang tampak sangat menonjol. Kalau dihitung dengan jari kedua tangan jumlah
tokoh pergerakan paling terkemuka Indonesia, mungkin sekitar separuhnya adalah
orang Minang. Sebutlah Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Haji Agus
Salim, Mr. Muhammad Yamin, dan Mohammad Natsir. Di tarik agak ke belakang, ada
lagi nama yang lebih senior seperti Abdul Rivai dan Abdul Muis.
Sumbangan
suku bangsa Minangkabau dalam melahirkan para pemimpin dan elite bangsa ini
juga dapat dilihat dari tingginya proporsi mereka dibandingkan jumlah penduduk
maupun luas daerah asal mereka terhadap penduduk dan luas wilayah Indonesia.
Jumlah etnis Minangkabau di Sumatera Barat dan yang tersebar di berbagai tempat
lain di Tanah Air, hanya berkisar 2 – 4 persen dari total penduduk Indonesia.
Namun sumbangan mereka dalam melahirkan para pemimpin dan elite nasional jauh
di atas proporsi jumlah penduduk tersebut.
Budayawan
A.A. Navis pernah menghitung, dari 377 nama tokoh dan orang terkemuka Indonesia
yang dimuat dalam Ensiklopedi Indonesia edisi 1956, sebanyak 71 di antaranya
adalah orang Minangkabau. Artinya, orang Minang menyumbang 19 persen dari
jumlah seluruh orang terkemuka Indonesia (Navis, 1999).
Tiga puluh
tahun kemudian, terjadi penurunan porsi orang Minang di antara semua orang
terkenal Indonesia. Dalam Ensiklopedi Indonesia edisi 1986, dari 1.153 jumlah
orang termuka Indonesia, “hanya” terdapat 110 yang orang Minang. Artinya
terjadi penurunan persentase dari 19 persen (1956) menjadi 9,7 persen (1986).
Meskipun demikian, jumlah tersebut masih di atas proporsinya karena populasi
seluruh orang Minang dibanding jumlah penduduk Indonesia tidaklah melebihi 4
persen.
Orang Minang
di Pentas Sejarah
Keberadaan
orang Minang di antara pemimpin dan tokoh nasional bukan hanya di pentas
politik dan pergerakan. Mereka juga menonjol di bidang intelektualitas,
keulamaan dan pemikiran Islam, pendidikan, kesusastaraan, dan kewartawanan.
Sejak masa Kebangkitan Nasional hingga zaman Pergerakan Kemerdekaan menjelang pertengahan abad ke-20, orang Minang selalu hadir dalam kiprah dan pemikiran yang bersifat ke-Indonesia-an –bahkan mereka ada di barisan terdepan. Mereka tampil di tiga panggung sekaligus –daerah, nasional, dan internasional –dengan tujuan utama memajukan kehidupan bangsa, melawan penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Sejak masa Kebangkitan Nasional hingga zaman Pergerakan Kemerdekaan menjelang pertengahan abad ke-20, orang Minang selalu hadir dalam kiprah dan pemikiran yang bersifat ke-Indonesia-an –bahkan mereka ada di barisan terdepan. Mereka tampil di tiga panggung sekaligus –daerah, nasional, dan internasional –dengan tujuan utama memajukan kehidupan bangsa, melawan penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Pergerakan
nasional di daerah Minangkabau sendiri, didominasi oleh mereka yang berlatar
belakang pendidikan agama (cendekiawan-ulama yang juga nasionalis) seperti H.
Abdul Karim Amarullah (Inyiak Rasul), Muhammad Djamil Djambek, dan “Trio Permi”
Muchtar Lutfi, Iljas Jacoub dan Jalaluddin Thaib. Bersama mereka terdapat pula
tokoh wanita pergerakan seperti Rasuna Said, Naimah Ismail, dan Rahmah
El-Yunussiyah. “Trio Permi” termasuk generasi pertama tokoh pergerakan yang
merasakan penjara dan pembuangan Belanda di Boven Digul, nun tersuruk di
pedalaman Papua sana. Sedangkan Rasuna Said dan Naimah Ismail pernah pula
ditangkap dan dipenjarakan di Semarang.
Mereka yang bergerak di pentas politik nasional bahkan internasional umumnya adalah yang berpendidikan Barat seperti Bung Hatta, Tan Malaka, dan Sutan Sjahrir. Karena gerakan politik menentang Belanda dan memperjuangkan Indonesia merdeka, Hatta dan Sjahrir menjadi tokoh paling terkemuka Indonesia yang diasingkan Belanda ke Boven Digul. Sedangkan Tan Malaka, pada tahun 1927 sudah mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) dan menuliskan ide pemikirannya “Menuju Republik Indonesia” dari Bangkok.
Mereka yang bergerak di pentas politik nasional bahkan internasional umumnya adalah yang berpendidikan Barat seperti Bung Hatta, Tan Malaka, dan Sutan Sjahrir. Karena gerakan politik menentang Belanda dan memperjuangkan Indonesia merdeka, Hatta dan Sjahrir menjadi tokoh paling terkemuka Indonesia yang diasingkan Belanda ke Boven Digul. Sedangkan Tan Malaka, pada tahun 1927 sudah mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) dan menuliskan ide pemikirannya “Menuju Republik Indonesia” dari Bangkok.
Ketika tiba
saatnya Republik Indonesia hendak didirikan, diproklamasikan lalu dipertahankan
kemerdekaannya, para tokoh asal Minangkabau juga berdiri di barisan terdepan.
Sewaktu Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk, orang Minang pun turut
serta di sana dalam peranan yang cukup menonjol. Soekarno menjadi ketua, dan
Hatta sebagai wakilnya. Haji Agus Salim dan Mr. Muhammad Yamin termasuk tokoh
yang mempunyai peranan besar di dalamnya.
Puncak
peranan orang Minang terjadi pada saat Negara Republik Indonesia
diproklamasikan pada tanggal 17 Agsutus 1945 dan berlanjut ke satu dekade
setelahnya. Tinta emas sejarah mencatat, satu dari dua penanda tangan naskah
Proklamasi adalah putra terbaik dari Minangkabau, yaitu Muhammad Hatta. Dan
ketika pemerintahan Republik Indonesia pertama kali dibentuk, Hatta pun dipilih
menjadi Wakil Presiden. Sementara tokoh terkemuka lainnya, yang kala itu masih
berusia 37 tahun, Sutan Sjahrir, tampil sebagai Ketua Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP). Dari 137 anggota KNIP yang pertama,
tercatat 12 orang Minang –mungkin suku bangsa kedua terbanyak di KNIP setelah
orang Jawa (Deliar Noer & Akbarsyah, 2005).
Sumbangan
rakyat Minangkabau paling penting dalam sejarah Republik Indonesia terjadi pada
masa Pemerintah Darurat Repuklik Indonesia (PDRI). Tatkala ibu kota negara
Yogyakarta diserang lalu diduduki dan Presiden Soekarno serta Wakil Presiden
Hatta ditawan Belanda, para pemimpin Indonesia di Sumatera Barat tampil menjadi
penyelamat Republik dengan mendirikan PDRI. Dengan demikian, skenario Belanda
membuat Indonesia mengalami vacum of power (kekosongan pemerintahan) –sehingga
tak lagi memenuhi syarat sebagai negara– telah gagal dan berantakan. PDRI yang
didirikan Mr. Sjafroeddin Prawiranegara dengan dukungan penuh para pemimpin
Republik di Sumatera Barat telah menjadi penyambung nyawa Negara RI sampai
kemudian dilakukan Penyerahan Kedaulatan dalam KMB di Denhaag akhir tahun 1949.
Setelah
Penyerahan Kedaulatan, yakni pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat
(RIS) (1949-1950), para elite Minang tampil pula secara dominan di pucuk
kepemimpinan nasional. Saat itu Presiden RIS dijabat oleh Soekarno dan Hatta
sebagai wakil presiden. Sedangkan pemerintahan RI, bagian terpenting dari RIS,
dipimpin duet Mr. Assaat (acting presiden) dan dr. A. Halim (perdana menteri).
Keduanya adalah putra Minang yang sama-sama berasal dari Banuhampu Sungai Puar.
Momen sangat
penting pula dalam sejarah bangsa Indonesia terjadi pada pertengahan tahun
1950. RIS yang tidak sesuai dengan cita-cita pendirian RI dibubarkan, lalu
Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal itu
terjadi ketika pemerintahan dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir yang
orang Minang. Atas jasa-jasanya yang demikian besar dan penting, oleh
Pemerintah RI Moh. Natsir telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada
tanggal 7 November 2008.
Dalam
Kabinet dan Pemerintahan
Sepanjang
sejarah lebih 63 tahun Indonesia merdeka sudah dipimpin oleh enam presiden
dengan total 38 Kabinet –diawali Kabinet R.A.A. Wiranata Kusumah (19 Agustus –
14 November 1945) hingga Kabinet Indonesia Bersatu (19 Oktober 2004 sampai
sekarang).
Selain selalu mengisi pimpinan pemerintahan sebagai menteri dan pejabat tinggi negara, suku bangsa Minangkabau juga tercatat telah menyumbangkan sejumlah putra terbaiknya menjadi pemimpin pemerintahan di berbagai provinsi di Indonesia. Terutama hal itu terjadi pada masa awal kemerdekaan, ketika banyak daerah masih kekurangan sumber daya untuk memimpin dan mengelola pemerintahan. Di antara orang Minang yang pernah memimpin pemerintahan di daerah lain adalah: antaranya Mr. Datuk Djamin yang menjadi Gubernur Jawa Barat yang kedua; Kolonel Daan Jahja (Gubernur Militer Jakarta, 1948-1949); Muhammad Djosan dan Muhammad Padang (Gubernur Maluku yang kedua dan ketiga, 1955-1960 dan 1960-1965); Datuk Madjo Basa Nan Kuniang (Gubernur Sulawesi Tengah yang pertama, 1964-1968); dr. Adnan Kapau Gani (Residen/Gubernur Sumatera Selatan yang pertama); dan Djamin Dt. Bagindo (Gubernur pertama Provinsi Jambi, 1956-1957).
Selain selalu mengisi pimpinan pemerintahan sebagai menteri dan pejabat tinggi negara, suku bangsa Minangkabau juga tercatat telah menyumbangkan sejumlah putra terbaiknya menjadi pemimpin pemerintahan di berbagai provinsi di Indonesia. Terutama hal itu terjadi pada masa awal kemerdekaan, ketika banyak daerah masih kekurangan sumber daya untuk memimpin dan mengelola pemerintahan. Di antara orang Minang yang pernah memimpin pemerintahan di daerah lain adalah: antaranya Mr. Datuk Djamin yang menjadi Gubernur Jawa Barat yang kedua; Kolonel Daan Jahja (Gubernur Militer Jakarta, 1948-1949); Muhammad Djosan dan Muhammad Padang (Gubernur Maluku yang kedua dan ketiga, 1955-1960 dan 1960-1965); Datuk Madjo Basa Nan Kuniang (Gubernur Sulawesi Tengah yang pertama, 1964-1968); dr. Adnan Kapau Gani (Residen/Gubernur Sumatera Selatan yang pertama); dan Djamin Dt. Bagindo (Gubernur pertama Provinsi Jambi, 1956-1957).
Peranan
orang Minang dalam kepemimpinan nasional pada periode tertentu tampak sangat
dominan, tapi ada kalanya mungkin sebagai pelengkap saja. Dalam Kabinet
Republik Indonesia yang pertama, yang dikenal dengan Kabinet R.A.A. Wiranata
Kusumah, di samping Bung Hatta yang menjabat Wakil Presiden, orang Minang yang
duduk dalam kabinet adalah Mr. Amir yang menjabat sebagai Menteri Negara.
Praktis
dalam sembilan kabinet selama era Perjuangan Kemerdekaan (1945-1949), peranan
orang Minang sangat menonjol. Bahkan lima kali kabinet di antaranya dipimpin
oleh putra Minang, yakni Kabinet Sjahrir (tiga kali) dan Kabinet Hatta (dua
kali). Bahkan dalam Kabinet Sjahrir (I, II, III – 14 November 1945 s.d. 27 Juni
1947), dari tiga posisi paling penting di puncak piramid kepemimpinan nasional
–presiden, wakil presiden, perdana menteri— dua di antaranya diisi oleh orang
Minang, yakni Mohammad Hatta (wakil presiden) dan Sutan Sjahrir (perdana
menteri). Selain Hatta, Sjahrir, dan Mr. Amir, putra Minang yang pernah menjadi
anggota kabinet adalah Haji Agus Salim (menteri luar negeri), Mohammad Natsir
(menteri penerangan), Adnan Kapau Gani (menteri kemakmuran), dan Sutan Mohammad
Rasjid (menteri dalam Kabinet PDRI).
Setelah Perang Kemerdekaan, Indonesia memasuki masa RIS dan Era Demokrasi Parlementer (1950 – 1959). Selama dekade ini, pucuk kepemimpinan pemerintahan nasional tetap diramaikan oleh putra-putra Minang. Bahkan dua dari 10 kabinet dalam periode ini dipimpin oleh putra Minangkabau, yakni Kabinet Halim (1950), dan Kabinet Natsir (1950-1951).
Setelah Perang Kemerdekaan, Indonesia memasuki masa RIS dan Era Demokrasi Parlementer (1950 – 1959). Selama dekade ini, pucuk kepemimpinan pemerintahan nasional tetap diramaikan oleh putra-putra Minang. Bahkan dua dari 10 kabinet dalam periode ini dipimpin oleh putra Minangkabau, yakni Kabinet Halim (1950), dan Kabinet Natsir (1950-1951).
Tokoh-tokoh
Minang yang tampil sebagai pimpinan dan anggota kabinet antara lain Mr. Assaat
(Acting Presiden RI dan Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Natsir); Dr. Abdul
Halim (Perdana Menteri Kabinet Halim, Menteri Pertahanan dalam Kabinet Natsir,
dan Menteri Negara dalam Kabinet Burhanuddin Harahap); Prof. Dr. Bahder Djohan
(Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dalam Kabinet Natsir dan Kabinet
Wilopo); Mr. Muhammad Yamin (Menteri Kehakiman dalam Kabinet Sukirman-Suwirjo,
Menteri Pendidikan Kabinet Ali Sastroamidjojo I, dan Menteri Negara dalam
Kabinet Djuanda); dan Prof. Mr. Hazairin (Menteri Dalam Negeri Kabinet Ali
Sastroamidjojo I).
Selanjutnya
Sjamsuddin St. Makmur (Menteri Penerangan Kabinet Burhanuddin Harahap) dan Eni
Karim (Menteri Pertanian), Sabilal Rajad (Menteri Perburuhan), serta Dahlan
Ibrahim (Menteri Negara Urusan Veteran) dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II
(1956-1957). Lalu Kolonel M. Nazir (Menteri Pelayaran), dan Chairul Saleh
(Menteri Urusan Veteran), keduanya duduk dalam Kabinet Karya pimpinan Djuanda
(1957-1959).
Pada akhir tahun 1956 Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden, dan mitos “Dwitunggal” Soekarno – Hatta pun terungkai. Terjadi kegaduhan politik nasional yang disusul meletusnya Peristiwa PRRI/Permesta –Pergolakan Daerah yang berpusat di Sumatera Barat tetapi juga terjadi di Sulawesi. Tahun 1959, Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dan DPR, lalu mendekritkan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 5 Juli 1959. Sejak itu Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpinan.
Pada akhir tahun 1956 Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden, dan mitos “Dwitunggal” Soekarno – Hatta pun terungkai. Terjadi kegaduhan politik nasional yang disusul meletusnya Peristiwa PRRI/Permesta –Pergolakan Daerah yang berpusat di Sumatera Barat tetapi juga terjadi di Sulawesi. Tahun 1959, Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dan DPR, lalu mendekritkan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 5 Juli 1959. Sejak itu Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpinan.
Pergolakan
PRRI (1958 – 1961) umum dianggap sebagai awal periode gelap sejarah orang
Minang karena menimbulkan dampak kemunduran, bahkan kehancuran, bagi daerah
ini. Bukan hanya kehancuran fisik, tetapi juga kejatuhan mental dan psikologis,
sehingga terjadi kemunduran peranan orang Minang di pentas nasional. Walaupun
sebenarnya, kalau keberadaan di pucuk pemerintahan nasional yang dijadikan
ukuran, selama periode Demokrasi Terpimpin tersebut orang Minang tak pernah
absen duduk dalam delapan kali pembentukan Kabinet sejak tahun 1959 hingga
kelahiran Orde Baru (1968). Mereka adalah Mr. Muhammad Yamin, Chairul Saleh,
dan Awaloedin Djamin.
Mohammad
Yamin, putra Minang kelahiran Talawi, sudah memainkan peranan penting di pucuk
kepemimpinan nasional sejak masa Perjuangan Kemerdekaan tanpa pernah terputus
hingga akhir hayatnya. Selama periode Demokrasi Terpimpin, Yamin terlibat dalam
tiga Kabinet, yakni sebagai Menteri Sosial Kulturil dalam Kabinet Kerja I;
Menteri Ketua Perancang Pembangunan Nasional dalam Kabinet Kerja II; dan Wakil
Menteri Pertama sebagai Koordinator Bidang khusus merangkap Menteri Penerangan
dalam Kabinet Kerja III.
Sedangkan
Chairul Saleh, putra kelahiran Lintau 13 September 1916 yang dikenal sebagai
tokoh pejuang yang kontroversial, bahkan memainkan peranan yang sangat penting
di puncak kepemimpinan nasional selama sewindu terakhir kepemimpinan Presiden
Soekarno. Chairul Saleh menjadi menteri dalam lima dari delapan kabinet selama
periode tersebut, dan sempat pula merangkap jabatan Ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Pertama kali masuk kabinet dengan
jabatan Menteri Urusan Veteran dalam Kabinet Djuanda (1957), selama periode
Demokrasi Terpimpin Chairul Saleh menempati berbagai pos penting: Menteri
Pembangunan merangkap Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan (Perdatam)
Kabinet Kerja I, II dan III; lalu naik menjadi Wakil Perdana Menteri III
merangkap Menko Kompartimen Pembangunan dan Menteri Perdatam pada Kabinet Kerja
IV, dan kembali menjadi Wakil Perdana Menteri III dalam Kabinet Dwikora I
(1964-1966).
Pergolakan
politik selama dan sesudah Peristiwa G30S/PKI mengguncang posisi satu-satunya
orang Minang dalam Kabinet. Chairul Saleh menjadi korbannya. Ia ditangkap dan
ditahan hingga meninggal di Rumah Tahanan Militer pada tanggal 8 Februari 1967.
Pada hari kematiannya, Jenderal Soeharto –penguasa de facto Indonesia sejak
1966— mengeluarkan surat klarifikasi bahwa Chairul Saleh bersih dari G30S/PKI,
tuduhan yang sebelumnya diduga menjadi dasar penahanannya. Sungguh tragis nasib
pejuang tersebut.
Namun patah
tumbuh hilang berganti. Chairul Saleh keluar, dalam Kabinet Dwikora yang
Disempurnakan muncul putra Minang yang lain, yakni Komisaris Besar Dr.
Awaloedin Djamin. Perwira polisi kelahiran Padang (1926) itu diangkat menjadi
Menteri Tenaga Kerja. Dalam Kabinet Ampera (1966-1968) –kabinet pertama yang
dipimpin oleh Jenderal Soeharto sebagai Ketua Presidium— Awaloedin Djamin
kembali menempati posisi Menteri Tenaga Kerja dan pangkatnya dinaikkan menjadi
Brigadir Jenderal Polisi dalam usia 40 tahun. Sepuluh tahun kemudian Awaloedin
Djamin menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri), orang Minang pertama dan
satu-satunya hingga saat ini yang mencapai posisi tersebut.
Tiga
Gubernur Jadi Menteri
Kelahiran
Orde Baru yang kemudian menyebut diri sebagai koreksi total terhadap Orde Lama,
mungkin bisa disebut sebagai titik balik dan kebangkitan kembali orang Minang
setelah terpuruk selama periode Pergolakan Daerah hingga masa G30S/PKI. Harun
Zain, putra Minang kelahiran Jakarta dan pernah berjuang sebagai Tentara
Pelajar semasa Perang Kemerdekaan di Jawa Timur, tampil menjadi Gubernur
Sumatera Barat yang pertama di era Orde Baru. Ia muncul dengan “Strategi Harga
Diri” untuk mengembalikan semangat dan mental orang Minang yang sempat “muno”
akibat trauma hebat pasca PRRI.
Sumatera Barat dengan cepat menyesuaikan diri dengan Orde Baru. Dalam Pemilu pertama Orde Baru (1971), Golongan Karya yang menjadi mesin politik dan penyangga kekuasaan Orde Baru, menang besar di daerah ini. Sebuah perubahan besar telah terjadi. Istilah sejarawan Taufik Abdullah: “Sejak awal tahun 1970-an, Sumatera Barat pun setahap demi setahap tampil sebagai ‘anak yang baik’ dalam sistem politik ‘kebapakan’ yang dipelihara oleh Orde Baru. Golkar selalu tampil sebagai pemenang besar Pemilu –dengan atau tanpa ‘serangan fajar’.” (Taufik Abdullah dalam Kata Pengantar Kahin, 2005).
Sumatera Barat dengan cepat menyesuaikan diri dengan Orde Baru. Dalam Pemilu pertama Orde Baru (1971), Golongan Karya yang menjadi mesin politik dan penyangga kekuasaan Orde Baru, menang besar di daerah ini. Sebuah perubahan besar telah terjadi. Istilah sejarawan Taufik Abdullah: “Sejak awal tahun 1970-an, Sumatera Barat pun setahap demi setahap tampil sebagai ‘anak yang baik’ dalam sistem politik ‘kebapakan’ yang dipelihara oleh Orde Baru. Golkar selalu tampil sebagai pemenang besar Pemilu –dengan atau tanpa ‘serangan fajar’.” (Taufik Abdullah dalam Kata Pengantar Kahin, 2005).
Gubernur
Harun Zain berhasil membangun Sumatera Barat dari puing-puing kehancuran sisa
Pergolakan Daerah menjadi daerah yang maju. Fondasi dan kerangka yang telah
dibangun Harun Zain dilanjutkan oleh Azwar Anas, dan berkesinambungan terus
hingga kepemimpinan Gubernur Hasan Basri Durin. Ketiga gubernur tersebut
menjabat selama dua periode (10 tahun), sebuah tanda keberhasilan dalam ukuran
Orde Baru. Bukan hanya itu, Sumatera Barat menjadi provinsi pertama dan
satu-satunya di luar Pulau Jawa yang dinilai paling berhasil pembangunannya.
Dua kali daerah ini meraih tanda penghargaan pembangunan tertinggi: Parasamya
Purnakarya Nugraha Pelita III (1984) semasa pemerintahan Azwar Anas dan
Prayojana Kriya Pata Parasamya (1994) di bawah kepemimpinan Hasan Basri Durin.
Bersamaan
dengan keberhasilan pembangunan Sumatera Barat, di pentas nasional nama orang
Minang dan daerah Sumatera Barat pun kembali berkibar. Prof. Dr. Emil Salim,
keponakan Pahlawan Nasional Haji Agus Salim, menjadi putra Minang pertama yang
masuk dalam Kabinet Pembangunan I (1968-1973)– kabinet pertama di bawah
Presiden Soeharto. Jabatannya adalah Menteri Penertiban dan Pembersihan
Aparatur Negara. Emil Salim, salah satu arsitek ekonomi rezim Soeharto dan Orde
Baru, terpilih lagi menjadi Menteri Perhubungan dalam Kabinet Pembangunan II
(1973-1978). Selama 15 tahun berikutnya ia terus mengisi kursi Kabinet dengan
jabatan Menteri Negara Pengawas Pembangunan dan Lingkungan Hidup (1978-1983),
dan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup selama dua periode
(1983-1988 dan 1988-1993).
Nama Sumatera Barat semakin berkibar-kibar di pentas nasional era Orde Baru ketika Harun Zain ditunjuk Soeharto menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabinet Pembangunan III (1978-1983). Ia menjadi gubernur pertama yang dipromosikan sebagai menteri. Dalam periode tersebut, tiga putra Minang sekaligus duduk di puncak pemerintahan RI. Selain Emil Salim dan Harun Zain, Jenderal Polisi Prof. Dr. Awaloedin Djamin, bekas Menteri Tenaga Kerja masa transisi dan Dubes RI di Jerman Barat, ditunjuk menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri).
Nama Sumatera Barat semakin berkibar-kibar di pentas nasional era Orde Baru ketika Harun Zain ditunjuk Soeharto menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabinet Pembangunan III (1978-1983). Ia menjadi gubernur pertama yang dipromosikan sebagai menteri. Dalam periode tersebut, tiga putra Minang sekaligus duduk di puncak pemerintahan RI. Selain Emil Salim dan Harun Zain, Jenderal Polisi Prof. Dr. Awaloedin Djamin, bekas Menteri Tenaga Kerja masa transisi dan Dubes RI di Jerman Barat, ditunjuk menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri).
Dalam dua
dekade selanjutnya, Sumatera Barat menorehkan tinta emas sejarahnya sebagai
daerah yang tiada bandingannya, ketika tiga bekas gubernurnya berturut-turut
terpilih menjadi menteri. Azwar Anas setelah 10 tahun menjadi gubernur,
terpilih menjadi Menteri Perhubungan (Kabinet Pembangunan IV, 1988-1993)) dan
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) dalam Kabinet
Pembangunan V (1993-1998). Gubernur selanjutnya, Hasan Basri Durin terpilih
menjadi Ketua Fraksi Utusan Daerah (FUD) MPR pada era terakhir pemerintahan
Soeharto, lalu ditunjuk menjadi Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional dalam Kabinet Reformasi Pembangunan di bawah Presiden B.J. Habibie.
Di luar
Sumatera Barat, hanya tercatat tiga provinsi lain di Indonesia yang bekas
gubernurnya dipercaya menjadi menteri. Itu pun masing-masing hanya satu orang,
tidak tiga seperti Sumatera Barat. Gubernur Gubernur Jawa Tengah Soepardjo
Rustam menjadi Menteri Dalam Negeri (1983-1988) dan Menko Kesra (1988-1993);
bekas Gubernur Jawa Barat Yogie S. Memet menjadi Menteri Dalam Kabinet VI
(1993-1998); dan, bekas gubernur DKI Jakarta Letjen Soerjadi Soedirdja sebagai
Menteri Dalam Negeri Kabinet Persatuan Nasional (1999-2001). Terakhir, Gubernur
Jawa Tengah Mardiyanto menjadi Menteri Dalam Negeri PAW (pengganti antar waktu)
Letjen Mohammaf Ma’aruf dalam Kabinet Indonesia Bersatu di bawah Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono.
Dekade
terakhir Orde Baru boleh dikatakan juga merupakan masa keemasan Sumatera Barat
dalam menyumbangkan putra-putra terbaiknya di puncak pemerintahan nasional.
Pada Kabinet Pembangunan V (1988-1993), dari 40 pejabat tinggi negara setingkat
menteri, empat orang di antaranya adalah putra Minang. Mereka adalah Emil Salim
(Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup), Bustanil Arifin (Menteri
Koperasi/Kepala Bulog), Azwar Anas (Menteri Perhubungan), dan Sjarifuddin
Baharsjah (Menteri Pertanian). Lalu dalam jajaran menteri Kabinet Pembangunan
VI (1993-1998) juga terdapat empat orang Minang, yakni Azwar Anas (Menko
Kesra), Sjarifuddin Baharsjah (Menteri Pertanian), Tarmizi Taher (Menteri
Agama), dan Abdul Latief (Menteri Tenaga Kerja). Dengan demikian, berarti orang
Minang menyumbang sekitar 10 persen dari seluruh menteri dalam kabinet.
Dibandingkan jumlah penduduk Sumatera Barat dengan seluruh penduduk Indonesia
(4 juta : 190 juta = 2,1%) atau seluruh orang Minang di kampung maupun dirantau
(lk. 8 juta : 190 juta = 4,2%), maka sumbangan mereka dalam elite
(pemerintahan) nasional tetap melebihi proporsinya (Mestika Zed Dkk., 1997).
Bidang
Militer, Profesional dan lain-lain
Orang Minang
berperan tidak hanya di bidang politik, pemerintahan, pendidikan,
kesusasteraan, ulama dan cendekiawan, tetapi juga mempunyai jejak yang jelas di
berbagai profesi lainnya seperti militer, pengusaha dan professional.
Di bidang militer, meskipun belum pernah ada orang Minang yang mencapai pangkat jenderal bintang empat, namun ada sejumlah nama yang dicatat sejarah mempunyai peran yang menonjol dan strategis. Kolonel Mohammad Nazir tercatat sebagai pendiri Angkatan Laut RI pada awal masa Revolusi, kemudian pernah menjadi KSAL PDRI dan Menteri Pelayaran di zaman Presiden Soekarno.
Di bidang militer, meskipun belum pernah ada orang Minang yang mencapai pangkat jenderal bintang empat, namun ada sejumlah nama yang dicatat sejarah mempunyai peran yang menonjol dan strategis. Kolonel Mohammad Nazir tercatat sebagai pendiri Angkatan Laut RI pada awal masa Revolusi, kemudian pernah menjadi KSAL PDRI dan Menteri Pelayaran di zaman Presiden Soekarno.
Di Angkatan
Darat ada sejumlah nama penting dalam sejarah kemiliteran Indonesia seperti
Letjen Kemal Idris yang pernah menjadi Pangkostrad dan Komandan Kontingen
Garuda I di Kongo; Letjen Rais Abin, putra Koto Gadang menjadi Panglima Pasukan
PBB di Sinai; Letjen Adnil Hasnan Habib, seorang intelektual militer yang
kemudian menjadi diplomat terkemuka; Letjen Saiful Sulun, Pangdam Brawijaya dan
pernah menjadi Wakil Ketua MPR/DPR; serta Letjen Djamari Chaniago dari angkatan
yang lebih muda pernah menjadi Panglima Konstrad dan Kepala Staf Umum TNI.
Di dunia
usaha, tercatat nama-nama seperti Hasjim Ning, Rahman Tamin, Abdul Latief,
Nasroel Chas, atau Basrizal Koto, seorang otodidak yang fenomenal. Namun
putra-putra Minang cukup menonjol pula di dunia professional, para manajer
handal yang malang melintang memimpin berbagai multinational corporation atau
BUMN besar. Sebutlah misalnya nama Baihaki Hakim (Presiden PT CPI kemudian
menjadi Direktur Utama Pertamina), Abdulgani Dt. Sidubalang, bankir terkemuka
yang kemudian menjadi Direktur Utama Garuda Indonesia, atau dari generasi yang
lebih muda seperti Arwin Rasyid yang pernah memimpin sejumlah bank besar serta
menjadi Dirut PT Telkom, Hasnul Suhaimi yang pernah memimpin PT Indosat dan
Excelcomindo, Erry Firmansyah yang memimpin Bursa Efek Indonesia, Fazwar Bujang
(Direktur Utama PT Krakatau Steel). Atau seorang profesional seperti Dr. Djodi
Firmansyah, ahli jembatan panjang pertama di Indonesia. Di dunia kedokteran
juga ada nama Fahmi Idris, seorang dokter ahli jantung yang menjadi Ketua
Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Era
Reformasi
Era
Reformasi dan pasca runtuhnya kekuasaan Soeharto yang telah berlangsung selama
32 tahun, dapat dikatakan merupakan dekade paling dinamis dalam sejarah politik
Indonesia. Masa ini dapat kita bandingkan dalam dekade pertama Indonesia
Merdeka. Selama masa transisi dan Era Reformasi yang sangat dinamis itu, orang
Minang tetap eksis dalam kepemimpinan nasional. Dalam Kabinet Reformasi
Pembangunan Presiden Habibie, setidaknya ada tiga orang Minang yang duduk
sebagai menteri, yakni Fahmi Idris sebagai Menteri Tenaga Kerja, Faried Anfasa
Moeloek (Menteri Kesehatan) dan Hasan Basri Durin (Menteri Agraria dan Kepala
BPN).
Hanya ketika
Kabinet Persatuan Pembangun pertama dibentuk di bawah Presiden Gus Dur dan
Wakil Presiden Megawati, tidak ada putra Minang yang duduk sebagai menteri.
Tapi ketika kabinet di-reshuffle beberapa bulan kemudian, seorang putra Minang,
Rizal Ramli, dipilih mengisi pos yang sangat strategis sebagai Menko
Perekonomian, kemudian menjadi Menteri Keuangan ketika kabinet dirombak lagi.
Di bawah
kepemimpinan Megawati sebagai presiden yang melanjutkan periode Gus Dur, orang
Minang tetap dapat tempat dalam Kabinet. Yakni Bachtiar Chamsyah sebagai
Menteri Sosial, dan putra asal Payakumbuh kelahiran Bangka-Belitung, Yusril
Ihza Mahendra, yang menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Kalaupun sumando orang
Minang boleh diperhitungkan pula, ada tiga orang yang duduk dalam Kabinet
Gotong Royong: Menko Perekonomian Dorojatun Kuntjoto-Jakti; H.M. Jusuf Kalla
(Menko Kesra); dan Agus Gumelar (Menteri Perhubungan).
Sementara
dalam Kabinet Indonesia Bersatu di bawah duet SBY-JK, terdapat empat menteri
putra atau keturunan orang Minang, yakni Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah;
Fahmi Idris (Menteri Tenaga Kerja kemudian menjadi Menteri Perindustrian);
Meutia Hatta, putri Proklamator Bung Hatta, yang menjabat Menteri Pemberdayaan
Perempuan; dan Yusril Ihza Mahendra yang hanya menjabat Menteri Sekretaris
Negara selama separuh periode.
Riwayat
Orang Minang Terkemuka
Riwayat
orang-orang besar dan orang-orang terkemuka adalah jendela untuk melihat
sejarah. Melalui biografi ringkas 100 Orang Minang Terkemuka Sepanjang Sejarah
& 50 Orang Minang yang Menonjol di Bidangnya, penulis ingin memotret
sejarah perjalanan bangsa ini, khususnya peran orang Minangkabau di dalamnya.
Mengenal
profil dan biografi ringkas orang-orang terkemuka tersebut, berarti juga kita
belajar tentang pergulatan hidup, perjuangan, idealisme, peran, dan sumbangsih
mereka bagi masyarakat, nusa dan bangsa. Mungkin juga kita bisa belajar tentang
kerja keras, kecerdasan, ilmu akal, atau mungkin nasib baik, dari pribadi yang
unik, bahkan aneh dan berbeda dengan orang biasa.
Orang-orang
terpandang, orang besar dan terkemuka, masing-masingnya adalah pribadi yang
unik. Ketika mengulas tentang Chairil Anwar dalam bukunya In Memoriam:
Mengenang Yang Wafat (Kompas, 2002), Rosihan Anwar mengemukakan satu hal
mengenai orang-orang Minang terkenal dalam sejarah seperti Haji Agus Salim,
Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Ibrahim Datuk Tan Malaka, Mohammad Natsir,
Mohammad Yamin, Hamka, dan lain-lain. Bila diteliti riwayat hidup mereka,
ternyata mereka memiliki sifat yang tidak lazim. Mereka berbeda dengan
rata-rata orang lain. Sifat aneh itu macam-macam wujudnya. Ada yang mendidik
sendiri anak-anaknya, jadi tidak ke sekolah formal, seperti Haji Agus Salim.
Ada yang selalu punctual, tepat waktu, tak boleh lambat barang semenit pun
seperti Hatta. Ada yang mengarungi lautan politik dari satu ujung ke ujung
lain, mulai dari Hamka sampai Tan Malaka. Ada yang eksentrik, punya kegemaran
mendalami budaya Jawa Kuno seperti Yamin. Ada yang keras memegang ajaran Islam.
Ada pula yang rada easy going, santai saja. Rosihan Anwar menamakan sifat khas
orang Minang itu ‘gilo-gilo baso’, yang kalau diartikan dalam istilah Jawa
kurang lebih sama dengan “gendheng”.
Ditarik ke
masa lebih ke belakang, fenomena ‘gilo-gilo baso’ itu pun masih tersua. Pada
masa kejayaan Orde Baru, ketika mayoritas elite Minang meng-Golkar-kan diri,
ada orang Minang bernama John Naro (Ketua Umum PPP) yang nekad berdiri di
tempat berbeda dengan mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden untuk Soeharto pada
Sidang Umum MPR 1993. Tapi tak ada orang Minang yang mengeritik apalagi
memakinya. Bahkan mereka bangga dengan keberanian atau kenekatan Naro.
Kita juga
bisa belajar dari sikap seorang Muchlis Ibrahim, Gubernur Sumatera Barat yang
keempat. Tatkala banyak orang mengejar pangkat dan jabatan dengan berbagai
cara, Muchlis justru ‘nekat’ mundur dari jabatannya hanya karena pemerintah
pusat mengangkat wakil gubernur yang tidak diusulkannya.
Ada juga
pelajaran dari sikap dan keteguhan seorang Sjahril Sabirin yang patut dicatat
dalam sejarah. Ia adalah Gubernur Bank Indonesia paling fenomenal, mungkin juga
kontroversial. Ia telah tampil sebagai martir, rela dipenjara demi
mempertahankan integritas profesionalnya serta menjaga independensi lembaga
yang dipimpinnya. Ia tak mau tunduk kepada intervensi seorang presiden
sekalipun, yang memberinya dua pilihan pahit: mengundurkan diri lalu ‘diberi
hadiah hiburan’ sebagai duta besar, atau (kalau tetap bertahan) masuk penjara.
Sjahril memilih yang kedua. Tetapi sejarah kemudian mencatat, Gus Dur yang
lebih dulu dipecat MPR dan digantikan wakilnya Megawati. Sedangkan Sjahril
Sabirin kemudian bebas karena dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan,
sehingga dapat menyelesaikan tugasnya memimpin dan membangun BI yang independen
hingga akhir masa jabatannya tahun 2003.
Pendidikan
sebagai Kata Kunci
Di atas
semua itu, dengan meneliti dan menyajikan riwayat 100 orang minang terkemuka
dan 50 orang Minang yang menonjol di bidangnya, penulis ingin menangkap dan
menyajikan nilai-nilai baik dan positif dari etnis Minangkabau, sehingga mereka
mampu memberikan sumbangan yang besar bagi bangsanya. Sebaliknya, dengan
mengupas riwayat dan profil mereka, kita pun akan mendapat jawaban, kenapa
orang Minang bisa memiliki peran yang menonjol di pentas sejarah bangsa ini?
Salah satu
kata kuncinya adalah: pendidikan. Dari berbagai literatur dan hasil penelitian
sejarah kita ketahui, suku bangsa Minangkabau lebih dulu maju dibandingkan
kebanyakan etnis lain di Indonesia, karena mereka sudah lebih dulu mengenyam
pendidikan. Penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth E. Graves, menyebutkan,
bahwa salah satu kunci kemajuan orang Minang Abad ke-19 adalah karena mereka
berhasil merespon dan memanfaatkan dengan baik keberadaan pendidikan Barat yang
dikenalkan oleh Belanda di Minangkabau (Graves, 2007). Jauh sebelum suku bangsa
lain di Indonesia mengenal pendidikan, orang Minangkabau sudah mengembangkan
pendidikan agama Islam, madrasah-madrasah melalui surau-surau yang ada.
Setelah
Belanda memperkenalkan pendidikan Barat sejak awal abad ke-19, orang
Minangkabau meresponnya dengan tepat sehingga memberikan keuntungan untuk
kemajuan suku bangsa ini. Mereka tidak hanya memasukkan anak-anaknya ke sekolah
yang didirikan Belanda, tetapi juga dengan swadaya sendiri membangun banyak
sekali sekolah dengan mengadaptasi model sekolah Balanda itu. Sehingga, jumlah
sekolah di Minangkabau berkembang dengan sangat pesat. Dalam wilayah yang kecil
dengan penduduknya yang juga tidak terlalu banyak, pada pertengahan Abad ke-19,
di seluruh Minangkabau (Sumatera Barat), jumlah sekolah yang ada sudah mencapai
separuh jumlah sekolah yang ada di seluruh Pulau Jawa dan Madura. Bahkan
laporan yang lain menyebutkan, pada tahun 1925 jumlah seluruh sekolah yang
terdapat di Minangkabau sudah dua kali lipat jumlah sekolah yang ada di Jawa
dan Madura (Tempo, 12 Juli 1986)..
Dalam buku
Sumatera Barat – Plakat Panjang, Rusli Amran melukiskan betapa antusiasnya
orang Minangkabau Abad-19 hingga awal Abad ke-20 mendirikan sekolah di setiap
kelarasan dan di nagari-nagari dengan cara swadaya. Mereka berlomba memasukkan
anak-anaknya ke sekolah yang ada. Kalau sudah tidak ada lagi sekolah yang lebih
tinggi di daerahnya, mereka kirim anak-anaknya sekolah ke Pulau Jawa, bahkan ke
Negeri Belanda.
Selain haus
dengan pendidikan, Taufik Abdullah mengistilahkan orang Minang “lapar akan
kemajuan”. Ada dua hal pokok yang menjadi motivasi orang Minang untuk mencapai
kemajuan. Pertama yang bersifat spiritual, yakni mencari ilmu. Kedua yang
bersifat material, mencari ‘duit’, uang atau kedudukan.
Motivasi
pertama, yang bersifat spiritual, berasal dari sikap hidup mereka yang
egaliter, rasa persamaan atau kesederajatan dengan orang lain. Tidak mau
kelangkahan, tidak mau kalah atau lebih rendah daripada orang lain dengan segala
manifestasinya, baik individu maupun komunal: “Kalau orang lain bisa, kenapa
saya tidak, kalau anak si anu bisa, kenapa anak kita tidak; kalau kampung si
Anu bisa, kenapa kampung kita tidak”?
Motivasi
kedua, yang bersifat material, diwujudkan pula dalam bentuk daya kompetisi atau
persaingan untuk mencapai taraf yang lebih tinggi daripada orang lain –untuk
mencari kekayaan atau mencari pangkat dan posisi atau jabatan. Hal ini biasanya
ditunjukkan dalam tradisi merantau orang Minang, yakni dalam rangka mengembangkan
diri atau mencari kehidupan yang lebih baik.
Menurut
Rudolf Mrazek, penulis Biografi Sutan Sjahrir, ada dua tipologi budaya
Minangkabau, yakni “dinamisme” dan “anti-parokialisme”. Keduanya ditandai
dengan tradisi merantau, berjiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter dan
berpandangan luas. Kedua tipologi itu dapat kita temukan berjalin-berkelindan
pada orang-orang besar dari Minangkabau seperti Bung Hatta, Tan Malaka,
Muhammad Yamin, Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, Haji Agus Salim, Buya Hamka,
Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Datuk ri Bandang, Chairil Anwar, dan lain-lain.
Komentar
Posting Komentar